PENANGANAN BENCANA DAN URGENSI PEKERJA SOSIAL

PENANGANAN BENCANA DAN URGENSI PEKERJA SOSIAL

Oleh: Heru Sunoto, M.S.W.Sp.

Orang baru sadar akan pentingnya dokter dan paramedis ketika sakit. Orang baru sadar pentingnya guru ketika kebodohan dan kebobrokan melanda negeri. Orang baru sadar pentingnya beras ketika tidak ada petani. Orang baru sadar pentingnya jantung ketika jatungnya bermasalah dan berujung kematian. Dan orang baru sadar pentingnya pekerja sosial ketika bencana terjadi. Kira-kira begitu analogi yang bisa saya gambarkan untuk mengawali tema bagaimana penanganan bencana di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Hal ini tanpa sedikitpun meremehkan peran dari profesi-profesi lainnya.

Pengalaman saya menangani bencana, baik bencana sosial maupun bencana alam bisa menggambarkan benarnya analogi ini. Pengalaman pertama pada tahun 2000 ketika menangani gelombang 247 orang eksodan muslim Timor-Timur pro-NKRI di Kab. Sukabumi. Bencana sosial tersebut sebagai imbas dari terlepasnya Provinsi Timor-Timur dari bagian NKRI. Penanganan bencana sosial ini diawali dari intervensi yang bersifat relief (tanggap darurat) yang berupa penampungan sementara, pemenuhan kebutuhan dasar dalam bentuk pemberian logistik dan kesehatan hingga yang bersifat pemberdayaan melalui referral dalam program transmigrasi, termasuk penguatan pada aspek biopsikososialspiritual. Pengalaman ke dua adalah dalam menangani bencana banjir dan kebakaran di Jabodetabek sejak tahun 2003 hingga 2007 yang terjadi hampir setiap bulan. Dengan rapid assessment, intervensi berupa layanan yang bersifat relief (tanggap darurat) berupa penanganan korban banjir/kebakaran melalui pemenuhankebutuhan dasar dengan menyiapkan logistik sandang, pangan, kesehatan, termasuk penyelamatan korban yang terjebak di lokasi banjir. Pengalaman ke tiga adalah dalam penanganan banjir tahunan di kawasan Beka (Bekasi dan Karawang) dan Trenggalek (Jawa Timur). Kawasan Beka yang setiap tahun banjir akibat luapan sungai Citarum dan Trenggalek yang mengalami banjir akibat penebangan hutan yang tidak terkendali. Intervensi berupa layanan relief (tanggap darurat) berupa pembagian sembako, layanan pompa air bergerak yang bertugas menguras sumur-sumur warga yang tercemar akibat banjir, dan pendampingan sosial dengan memberikan penguatan pada aspek biopsikososialspiritual masyarakat korban bencana. Pengalaman ke empat adalah tsunami Aceh tahun 2004. Bencana alam dahsyat di akhir tahun 2004 tersebut mengakibatkan dampak yang sangat luas: fisik insfra struktur dan sosial. Intervensi yang pernah dilakukan berupa pengerahan Tim SAR yang mencari jenazah-jenazah dan kemudian dimakamkan, pembersihan fasilitas publik seperti masjid untuk bisa dipergunakan oleh masyarakat, layanan logistik, kamp pengungsian, kesehatan, dan pendampingan sosial dengan melakukan penguatan aspek biopsikososialspiritual, termasuk di dalamnya training para tengku (ustadz) untuk menjadi relawan dan kemudian bersama memberikan penguatan mental spiritual kepada masyarakat. Pengalaman ke lima adalah bagaimana menangani bencana erupsi merapi dan gempa bumi tahun 2006. Intervensi pada tahap pra-bencana berupa menggugah kesadaran dan penguatan (consciousness raising and empowering) masyarakat lokasi sekitar gunung merapi, penguatan jalur komunikasi pemantau aktivitas gunung merapi berupa pembagian alat komunikasi handy talky (HT) kepada masyarakat dan titik pemantau gunung. Intervensi pada saat bencana terjadi berupa layanan SAR untuk melakukan penyelamatan warga. Intervensi pada pasca bencana berupa layanan logistik untuk pemenuhan kebutuhan dan dasar dan pendampingan sosial dengan memberikan penguatan aspek biopsikososialspiritual.

Itu sekilas tentang apa yang sudah pernah kami lakukan di dalam menanganai beragam bencana, baik bencana sosial maupun alam. Semua bentuk penanganan bencana di atas sangat besar peran dari profesi pekerja sosial.

Apa itu Pekerja Sosial?
Pekerja sosial adalah profesi yang powerfull and multitasking. Powerfull karena memiliki potensi skill besar yang sangat bisa memberikan manfaat besar dalam menyelamatkan, memulihkan, dan memberdayakan, baik manusia maupun lingkungan. Multitasking karena pekerja sosial adalah profesi yang secara legal bisa menjalankan beragam peran. Jika diibaratkan sebilah pisau, maka profesi pekerja sosial adalah pisau yang memiliki tiga mata pisau: atas, bawah, dan depan. Mata pisau depan menyasar klien sebagai target penyelesaian masalah; mata pisau bawah berguna untuk menghilangkan penyebab masalah dan mata pisau atas berguna untuk menciptakan iklim yang memungkinkan bagi keberdayaan klien, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun institusi. Jika mengutip ucapan Ashman and Hull Jr, “Profesi Pekerja Sosial itu sangat unik melebihi profesi apapun karena selain bisa menyasar klien juga menyasar lingkungan dan struktur yang melingkupinya.

Apabila kita tilik definisi pekerjaan sosial menurut International Federation of Social Workers (IFSW),
“Social work is a practice-based profession and an academic discipline that promotes social change and development, social cohesion, and the empowerment and liberation of people. Principles of social justice, human rights, collective responsibility and respect for diversities are central to social work. Underpinned by theories of social work, social sciences, humanities and indigenous knowledge, social work engages people and structures to address life challenges and enhance wellbeing.”

Berdasarkan definisi di atas, saya menggarisbawahi poin-poin pentingnya sebagai berikut:

  1. Pekerjaan sosial adalah profesi yang berbasis pada praktik riil;
  2. Pekerjaan sosial juga merupakan disiplin akademik seperti ilmu-ilmu pengetahun lainnya;
  3. Mengkampanyekan perubahan sosial, pembangunan, persatuan sosial, pemberdayaan, dan pembebasan manusia dari keterbelengguan/penindasan;
  4. Prinsip-prinsip yang digunakan adalah keadilan sosial, Hak Asasi Manusia (HAM), tanggung jawab bersama, dan menghargai keberagaman;
  5. Dasar pijakannya adalah teori-teori sosial, ilmu-ilmu pengetahuan sosial, humanisme, dan pengetahuan lokal masyarakat;
  6. Menyasar manusia dan struktur;
  7. Tujuannya untuk menggapai kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan.

Tujuh poin di atas menggambarkan betapa strategisnya pekerjaan sosial dan itu semua hanya bisa diperankan oleh profesi pekerja sosial. Profesi pekerja sosial bisa menyasar klien dan keluarganya serta sistem struktur sekaligus.

Dalam konteks kebencanaan, profesi pekerja sosial bisa menyasar manusia sebagai korban bencana, menyasar struktur yang ada untuk melakukan antisipasi kesiapsiagaan pra-bencana, penguatan masyarakat dan struktur untuk mencipta lingkungan yang aman, dan apapun yang dibutuhkan untuk menyelamatkan eksistensi kehidupan manusia dan meningkatkan kesejahteraan.

Amanah legal profesi pekerja sosial yang demikian inilah yang tidak dimiliki oleh profesi manapun. Sebagai contoh: profesi lawyer yang hanya bisa memberikan bantuan hukum bagi pemohon; profesi dokter hanya terbatas pada bantuan kesehatan kepada pasien, dll.. Oleh karena itu, analogi saya di atas bahwa profesi pekerja sosial itu powerfull dan multitasking yang diibaratkan pisau bermata jamak, sangat tepat. Oleh karena itu, pekerja sosial punya moto: helping people to help them selves (menolong manusia agar mereka bisa menolong diri mereka sendiri).

Apabila kita melihat pada Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, di dalamnya menyebut beberapa pilar sasaran pembangunan kesejahteraan sosial, diantaranya adalah kebencanaan; dan ketika menyebut pelaksana pembangunan kesejahteraan sosial, disebut di dalamnya pekerja sosial. Artinya apa? Artinya adalah pelaku utama penanganan kebencanaan adalah profesi pekerja sosial.

Apa Peran Pekerja Sosial dalam Ranah Bencana?

Peran-peran yang bisa dilakukan oleh pekerja sosial dalam ranah bencana, dapat saya gambarkan sebagai berikut:

Relawan
Peran pada level terrendah yang bisa dilakukan oleh pekerja sosial dalam kebencanaan adalah sebagai relawan bencana. Relawan bencana bisa dilakukan baik para tahapan kesiapsiagaan (tanggap bencana), saat bencana, dan pasca bencana. Banyak hal yang bisa dikerjakan oleh relawan bencana, yaitu:

  1. Pada tahapan kesiapsiagaan/pra-bencana, maka pekerja sosial menguatkan potensi masyarakat, membangun kesadaran akan potensi bencana, bekerja bersama (working with) masyarakat melakukan upaya penguatan sosial, penguatan struktur yang ada untuk menjadi masyarakat yang siaga bencana, tangguh terhadap bencana, dan meminimalisasikan korban, baik jiwa maupun lingkungan.
  2. Pada tahapan kejadian bencana, maka peran pekerja sosial sebagai relawan bisa dilakukan dengan melakukan search and ranging (SAR), menyiapkan logistik, mengevakuasi dan melayani korban selamat, mengevakuasi korban yang wafat, menghubungkan berbagai sistem sumber yang bisa mendukung layanan kepada para korban bencana, serta membangun jaringan kerja dan komunikasi antar para relawan, beragam institusi yang terjun di dalam penanganan bencana di lapangan.
  3. Pada tahapan recovery (pemulihan), peran pekerja sosial sebagai relawan adalah penguatan masyarakat, penyiapan infrastruktur sosial agar program pemulihan bisa berjalan dengan baik, menjalin kerja sama antar institusi pemangku kepentingan, dan menciptakan iklim keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan recovery sehingga inisiatif dan aspirasi masyarakat terwadahi secara maksimal. Karena pemberdayaan yang terbaik adalah yang memberikan sebesar-besarnya keterlibatan dari bawah, bukan topdown.

Pelaksana program
Peran pada level kedua bagi pekerja sosial dalam kebencanaan adalah sebagai pelaksana program. Peran ini juga disasarkan pada tiga tahapan kebencanaan, yaitu pra-bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Sebagai pelaksana program, Pekerja sosial mampu untuk menggaet para relawan, para pendukung program, baik dari masyarakat maupun institusi untuk kemudian men-direct mereka menuju suksesnya program. Pekerja sosial juga melakukan pemetaan potensi dan kelemahan, peluang dan kendala. Kalau saya meminjam paradigma dari Talcott Parsons (1951), harus memetakan struktur masyarakat dalam empat stratum, yaitu goal attainment, adaptation, integration, and latency (GAIL).

Perencana program
Pada level ketiga, pekerja sosial memerankan tugas sebagai perencana program kebencanaan. perencanaan yang dibuat juga harus menyasar tiga tahapan kebencanaan, yaitu pra-bencana, saat bencana, dan pasca bencana.

  1. Pada tahap pra-bencana, perencanaan dibuat dengan mengedepankan suara dari masyarakat. Pekerja sosial harus menghargai lima unsur kearifan lokal, yaitu: pengetahuan lokal, keterampilan lokal, sumber daya lokal, proses lokal, dan budaya lokal. Perencanaan dilakukan dengan sebesar-besarnya pelibatan masyarakat sebagai penerima program sehingga program yang terbaik adalah terbaik menurut masyarakat bukan terbaik menurut pemilik dana (pemerintah ataupun NGO). Perencanaan yang baik disusun dengan sebelumnya melakukan assessment. Assessment yang baik tidak terpaku dengan mengandalkan brief assessment, seperti pertemuan formal, rapat, focussed group discussion (FGD), temu warga, rembug warga, musrembang, dll. Hal-hal tersebut memiliki banyak keterbatasan. Dan keterbatasan yang paling berbahaya adalah tidak representatifnya hasil pertemuan tersebut. Hal ini karena selalu dimanapun dan kapanpun, di dalam pertemuan formal, yang bisa hadir hanyalah mereka-mereka yang tidak banyak tangungan keluarga, yang banyak bicara adalah hanya orang-orang tertentu yang terbiasa bicara ataupun mereka-mereka yang merasa menjadi tokoh warga. Maka, pekerja sosial dalam tahapan ini mampu untuk mendengar suara masyarakat dengan mengikuti irama masyarakat, seperti hadir di warung kopi warga, ikut di jagongan (duduk-duduk warga di malam hari di pos ronda dan bersifat informal), kerumunan warga, acara olah raga warga, dan berbagai aktivitas harian warga lainnya. Biasanya suara masyarakat pada momen informal itu lebih asli dan mewakili suara masyarakat luas.
  2. Perencanaan pada tahapan/saat bencana. Perencanaan pada tahapan ini sangat berbeda dengan tahapan sebelumnya. Jika pada tahapan pra-bencana, kita bisa leluasa mengatur waktu assessment dan perencanaan sehingga proses pemberdayaan warga benar-benar terjadi. Namun, pada saat bencana, perencanaan harus dilakukan dengan sangat cepat. Rapid planning, smart planning (perencanaan yang cepat dan cermat) yang lebih mengedepankan pada layanan tanggap darurat (relief) dan penggabungan antara topdown dan bottom-up. Perencanaan program pada saat bencana tidak boleh difahami sebagai perencanaan yang bersifat final dan tidak dapat diubah, namun on going process, artinya setiap saat ada update data untuk menyempurnakan perencanaan berikutnya.
  3. Perencanaan pasca bencana. Perencanaan program penanganan pasca bencana difokuskan pada penguatan dan pemberdayaan masyarakat. Memanfaatkan lima kearifan lokal sebagaimana yang saya kemukakan di atas dan dukungan berbagai institusi (pemerintah dan NGO) untuk memulihkan kondisi sosial kemasyarakat sebagaimana sebelumnya. Pekerja sosial bersama masyarakat melakukan evaluasi partisipatif tentang kenapa bencana tersebut bisa terjadi. Dan bersama masyarakat pula membuat analisis singkat serta menawarkan solusi ke depan sebagai sebuah brief policy atau policy paper yang bersifat retrospektif.

Setelah kita melihat peran-peran pekerja sosial pada ranah kebencanaan, maka kita bisa menganggukkan kepala bahwa dalam penanganan bencana, dalam hal ini masyarakat dan pemerintah sangat membutuhkan adanya pekerja sosial profesional. Pemerintah dan berbagai NGO yang concern dengan kebencanaan sangat butuh akan adanya pekerja sosial. Ini semata-mata demi menyelamatkan kehidupan dan menggapai serta meningkatkan kesejahteraan untuk semua (address life challenges and enhance wellbeing). Dan itu adalah tujuan akhir dari profesi pekerja sosial itu sendiri.***(20/06/2016)

Rujuan:

  1. Ife, Jim, 2002, Community Development: Community-based Alternatives in an Age of Globalization, 2nd Ed. NSW, Australia: Longman Pearson Education.
  2. ________, 2009, Human Rights from Below: Achieving rights through community development. 1st Ed. Melbourne, Australia: Cambridge Univ. Press.
  3. Kirst-Ashman, K.K., and G.H. Hull Jr., 2009, Generalist practice with Organizations and Communities. 4th Ed. Belmont, CA., USA: Brook/Cole.
  4. Parsons, Talcott, 1951, The Social System. New Ed. 1st Published 1991. London, England: Roudledge.
  5. http://www.ifsw.org/ policies/definition-of-social-work/; diunduh pada Februari 2015.

Leave a comment